
Untung Rugi Regulasi Profesi
- On 29/06/2025
Oleh: Ar. Stevanus J Manahampi, M.E, A.A, IAI
Saya masih ingat cerita dari almarhum Ahmad Djuhara, salah satu tokoh di balik lahirnya Undang-Undang Arsitek dan perkembangan profesi Arsitek di Indonesia. Dalam sebuah forum internasional, ia pernah mendapat pertanyaan yang menggelitik dari rekan arsitek luar negeri:
“Are you sure you want an Architects Act?”
Waktu mendengar cerita itu, saya cukup terkejut. Bukankah regulasi profesi, termasuk UU Arsitek dan STRA (Sertifikasi dan Registrasi Arsitek), dibuat untuk melindungi kepentingan para arsitek? Untuk memperkuat posisi tawar kita, mengangkat martabat profesi, memberi pengakuan resmi di mata negara?
Ternyata tidak sesederhana itu.
Justru sebaliknya, regulasi profesi pada dasarnya tidak dibuat untuk kenyamanan pelaku profesi. Ia bukan sarana perlindungan diri bagi arsitek. Ia adalah sistem yang dibentuk untuk melindungi pengguna jasa dan masyarakat luas—agar bangunan yang kita rancang tidak hanya “bagus dilihat”, tapi aman, fungsional, sehat, efisien, dan taat hukum.
Kalau Mau Untung, Mungkin Lebih Baik Tanpa Regulasi
Secara logika praktis, jika tujuannya hanya agar arsitek bebas berpraktik dan tidak terbebani urusan administratif, lebih baik tidak ada STRA. Tak perlu uji kompetensi, tak perlu magang, tak perlu tunduk pada kode etik atau ancaman sanksi. Semua orang bebas menyebut diri sebagai arsitek dan langsung menawarkan jasa di pasar.
Namun jalan seperti itu bukan hanya egois, tapi juga berbahaya.
Karena yang paling dirugikan adalah pengguna jasa dan masyarakat umum. Mereka kehilangan pegangan untuk menilai siapa yang benar-benar kompeten. Tidak ada standar layanan minimum. Tidak ada tanggung jawab hukum. Tidak ada perlindungan.
Siapa Sebenarnya yang Diuntungkan oleh Regulasi Profesi?
Jawabannya: publik.
Pengguna jasa adalah pihak yang paling diuntungkan, karena mereka bisa yakin bahwa orang yang mereka rekrut memiliki kemampuan teknis dan etik yang telah diuji dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pemerintah juga diuntungkan karena bisa membangun sistem perizinan dan pengawasan yang berbasis kejelasan tanggung jawab profesional.
Masyarakat umum, pada akhirnya, juga diuntungkan karena ruang-ruang hidup mereka dirancang oleh orang yang tahu bagaimana menjamin keselamatan, kehandalan, dan kualitas lingkungan.
Sertifikasi bukan hadiah. Ia adalah bukti bahwa seseorang siap dipertanggungjawabkan secara publik dan profesional.
Tapi Kalau Sudah Ada Regulasi, Kenapa Kualitas Bangunan di Indonesia Masih Kurang?
Ini pertanyaan wajar—dan sering muncul sebagai kritik. Namun jawabannya tidak terletak pada regulasinya, melainkan pada tingkat kepatuhan terhadap regulasi itu sendiri.
• Kita masih melihat proyek penting—bahkan sekelas Istana Negara—tidak dirancang oleh arsitek profesional bersertifikat, tapi oleh seniman.
• Banyak perguruan tinggi belum sepenuhnya memenuhi standar kurikulum profesi yang sesuai dengan standar profesi nasional maupun internasional.
• Masih banyak pengguna jasa yang belum tahu pentingnya STRA atau bagaimana cara memilih arsitek yang kompeten secara formal.
• Bahkan di kalangan masyarakat umum, arsitek masih sering dianggap hanya penjual gambar, bukan penyedia jasa profesional yang terikat tanggung jawab hukum dan etik.
Jadi, bukan regulasinya yang gagal, tetapi sistem penerapannya yang belum berjalan secara konsisten dan merata.
Prestasi Tak Selalu Sama dengan Tanggung Jawab Profesi
Lalu bagaimana jika ada orang yang sering menang sayembara, punya portofolio gedung yang mengesankan, tapi tidak (atau belum) lulus uji kompetensi STRA?
Ini pertanyaan yang kerap muncul—dan menjadi bahan perdebatan. Tapi justru di sinilah pentingnya kita membedakan antara prestasi individual dan legitimasi profesi.
Menang sayembara menunjukkan kreativitas dan kemampuan presentasi ide. Tapi menjadi arsitek profesional berarti lebih dari itu. Ia menyangkut kemampuan menjalankan proses riil: dari desain hingga perizinan, dari gambar kerja hingga konstruksi, dari tanggung jawab personal hingga keterikatan hukum.
Uji kompetensi bukan dibuat untuk menjegal kreativitas, tapi untuk memastikan bahwa orang yang membawa gelar “arsitek” benar-benar paham konsekuensi hukum dan teknis dari pekerjaannya—bukan hanya pada kertas, tapi pada bangunan yang dihuni orang.
Bahkan dalam kasus-kasus ideal sekalipun, pemenang sayembara tetap harus bekerjasama dengan arsitek profesional bersertifikat dan teregistrasi agar proyek bisa dijalankan sesuai prosedur hukum.
Jadi, jika seseorang punya karya hebat namun belum memenuhi standar pengakuan profesi, maka solusinya bukan mempersoalkan uji kompetensinya—tapi melengkapi dirinya agar tidak hanya diakui karena bakat, tapi juga dipercaya karena siap bertanggung jawab.
Regulasi Itu Bukan untuk Membatasi, Tapi untuk Melindungi
Memang, menjadi arsitek yang tersertifikasi dan teregistrasi bukan proses yang ringan. Tapi itulah bagian dari tanggung jawab kita. Profesi ini menyangkut ruang publik, menyangkut keselamatan, menyangkut keberlangsungan hidup.
Hanya profesi yang siap dipertanggungjawabkan yang layak dihormati dan dipercaya.
Regulasi tidak serta-merta membuat semua arsitek hebat, tapi ia menciptakan fondasi—agar masyarakat tidak dirugikan, dan profesi ini bisa berdiri dengan martabat, etika, dan integritas.
Banyak orang mengira bahwa tanggung jawab profesional lahir dari kesediaan pribadi atau itikad baik pelaku. Padahal dalam sistem profesi, tanggung jawab itu muncul karena adanya mandat kewenangan yang sah.
Ketika seorang arsitek menandatangani gambar kerja atau menyetujui desain struktural, ia tidak sedang mengekspresikan keahlian semata, tapi sedang menggunakan mandat yang punya implikasi hukum.
Di titik itulah legitimasi menjadi penting: karena yang dinilai bukan hanya hasil karyanya, tapi kesanggupannya untuk berdiri di balik keputusan profesional tersebut—di hadapan klien, negara, dan masyarakat.
Maka pertanyaannya bukan sekadar:
“apakah ia bisa mendesain?”,
tapi
“apakah kita bisa mempercayakan dampak dari desain itu kepadanya?”
0 comments on Untung Rugi Regulasi Profesi