Oleh: Ar. Stevanus J Manahampi, M.E, A.A, IAI
Dalam banyak proses pengadaan jasa profesional, baik di sektor pemerintah maupun swasta, kita sering menjumpai persyaratan sertifikasi profesi. Bagi sebagian orang, ini dianggap sekadar administratif—seperti “stempel” yang tak berpengaruh langsung pada kualitas pekerjaan. Tapi anggapan itu keliru.
Sertifikasi profesi—dalam hal ini STRA (Sertifikasi dan Registrasi Arsitek)—bukan formalitas, tapi alat seleksi paling objektif untuk menjamin bahwa seseorang memang siap menjalankan tanggung jawab profesional secara utuh. Ia bukan hanya soal kemampuan teknis, tapi juga menyangkut etika, kepatuhan hukum, dan akuntabilitas.
Apa yang Dijamin oleh STRA?
STRA adalah bukti bahwa seseorang telah:
- Lulus uji kompetensi profesi
- Menyelesaikan masa magang di bawah bimbingan arsitek senior
- Menyatakan kesediaan untuk patuh pada kode etik dan bertanggung jawab secara hukum
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 6 Tahun 2017, yang menyatakan:
“Untuk melakukan Praktik Arsitek, seseorang wajib memiliki STRA.”
Kewenangan penerbitan STRA juga diatur secara eksplisit dalam Pasal 71 dan 72 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2021, yang menetapkan bahwa Dewan Arsitek Indonesia (DAI) adalah lembaga yang berwenang menyelenggarakan uji kompetensi, menetapkan gelar Arsitek (Ar.), dan menerbitkan STRA.
Keabsahan ini bahkan sudah diuji di Mahkamah Agung melalui Putusan No. 18/P/HUM/2021, yang menyatakan bahwa STRA adalah bentuk Sertifikat Kompetensi Kerja yang sah dan tidak bertentangan dengan UU Jasa Konstruksi maupun sistem perundang-undangan nasional.
Mengapa STRA Wajib dalam Tender Pemerintah?
Tender pengadaan pemerintah mensyaratkan STRA bukan karena ingin mempersulit, melainkan karena pemerintah harus memastikan bahwa penyedia jasa benar-benar profesional. STRA menjadi filter yang paling sahih—karena:
- Prosesnya objektif dan berbasis uji kemampuan nyata
- Terikat pada kode etik dan pengawasan organisasi profesi
- Bisa dijadikan dasar akuntabilitas jika timbul sengketa atau kelalaian
Sistem ini sejalan dengan prinsip pengadaan versi LKPP: transparan, akuntabel, dan memberikan value for money.
Tapi Mengapa di Proyek Swasta Kadang Tidak Disyaratkan?
Ada beberapa alasan umum mengapa permintaan akan STRA di sektor swasta, tidak selalu muncul sebagai syarat eksplisit. Dalam beberapa kasus, pemilik proyek atau klien belum sepenuhnya memahami fungsi STRA sebagai jaminan kompetensi dan legalitas profesi arsitek. Fokus utama mereka mungkin masih terbatas pada ide desain atau visualisasi estetika, bukan pada proses dan tanggung jawab hukum di baliknya.
Ada pula anggapan bahwa aspek teknis dan legal dari dokumen perencanaan nantinya akan ditangani oleh konsultan lain, seperti insinyur struktur atau kontraktor pelaksana. Akibatnya, keberadaan arsitek bersertifikat sering kali dianggap bukan prioritas sejak awal.
Namun, pendekatan semacam ini menyisakan banyak risiko. Sebagus apa pun ide awal yang dihasilkan, tanpa keterlibatan arsitek yang memiliki STRA, gambar kerja tidak memiliki dasar hukum untuk diproses dalam sistem perizinan seperti IMB, PBG, atau SLF. Dan pada akhirnya, pemberi tugas tetap harus mengontrak arsitek bersertifikat untuk menandatangani, menyesuaikan, atau bahkan menggambar ulang seluruh dokumen agar proyek bisa berjalan secara sah. Konsekuensinya bukan hanya tambahan biaya dan waktu, tapi juga ketidakpastian tanggung jawab jika terjadi masalah teknis atau hukum di kemudian hari.
Kerugian dan Risiko dalam Pengadaan Jika STRA Ditiadakan
Tanpa STRA, proyek Anda berisiko menghadapi berbagai masalah berikut—dari aspek legalitas hingga akuntabilitas profesional:
- Gambar tidak sah secara hukum. Tidak bisa digunakan untuk pengajuan izin bangunan.
- Perlu mengontrak arsitek STRA di tengah jalan. Ini berarti biaya tambahan dan potensi revisi besar.
- Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab. Jika ada kesalahan, siapa yang bisa dituntut? Siapa yang diikat kode etik?
- Risiko sengketa dan reputasi. Baik bagi klien maupun desainer.
Dengan kata lain, tidak mensyaratkan STRA berarti membuka celah kerentanan hukum, biaya tambahan, dan ketidakpastian hasil. Karena STRA bukan sekadar dokumen administratif, tapi bentuk mandat kewenangan dari negara.
Saat seorang arsitek menandatangani gambar atau mendampingi proses perijinan, ia bertindak dalam kapasitas profesional yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Tanpa STRA, tidak ada kejelasan siapa yang berwenang, dan akibatnya, siapa pun bisa terjebak dalam risiko—baik klien maupun desainer.
Justru inilah esensi dari pengadaan berbasis sertifikasi: agar setiap tindakan profesional dilandasi otoritas yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
Sertifikasi Bukan Beban, Tapi Jaminan
STRA bukan sekadar sertifikat dan registrasi. Ia adalah garansi profesionalisme—bagi pemberi tugas, pemerintah, dan publik. Dalam konteks pengadaan jasa arsitek, STRA memastikan bahwa:
- Yang Anda pekerjakan memang kompeten dan legal
- Desain Proyek Anda dapat diproses secara sah dan efisien
- Bila ada masalah, ada sistem etik dan hukum yang bisa diandalkan
Maka pertanyaannya bukan lagi: “Perlukah mensyaratkan STRA?”
Tapi:
“Berani kah kita mengambil risiko jika tidak mensyaratkannya?”

